Sajak-sajak Chairil Anwar

NISAN

untuk neneknda

Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta.

Oktober 1942


LAGU SIUL (versi TAK SEPADAN pada Februari 1943)

I

Laron pada mati
Terbakar di sumbu lampu
Aku juga menemu
Ajal di cerlang caya matamu
Heran! Ini badan yang selama berjaga
Habis hangus di api matamu
‘Ku kayak tidak tahu apa.

TAK SEPADAN

II

Aku kira:
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasveros.

Dikutuk-sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.

Jadi baik juga kita padami
Unggunan api ini
Karena kau tidak 'kan apa-apa
Aku terpanggang tinggal rangka.

Februari 1943


SENDIRI

Hidupnya tambah sepi, tambah hampa
Malam apa lagi
Ia memekik ngeri
Dicekik kesunyian kamarnya

Ia membenci. Dirinya dari segala
Yang minta perempuan untuk kawannya

Bahaya dari tiap sudut. Mendekat juga
Dalam ketakukan-menanti ia menyebut satu nama

Terkejut ia terduduk. Siapa memanggil itu?
Ah! Lemah lesu ia tersedu: Ibu! Ibu!

Februari 1943


RUMAHKU

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak

Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana

Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.

27 April 1943


DI MESJID

Kuseru saja Dia
Sehingga datang juga

Kami pun bermuka-muka.

Seterusnya Ia menyala-nyala dalam dada.
Segala daya memadamkannya

Bersimbah peluh diri yang tidak bisa diperkuda

Ini ruang
Gelanggang kami berperang

Binasa-membinasa
Satu menista lain gila.

29 Mei 1943


AKU


Kalau sampai waktuku
?ku mau tak seorang? kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

( Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang )
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan tidak lebih perduli

Aku mau hidup seribu tahun lagi

Djakarta, Maret 1943


KUPU MALAM DAN BINIKU


Sambil berselisih lalu
Mengabu debu.
Kupercepat langkah. Ta? noleh ke belakang
Ngeri ini luka-terbuka sekali lagi terpandang.
Barah ternganga
Zola terharu waktu memamaht ?Nana?
Melayang ingatan ke biniku
Lautan yang belum terduga olehku
Biar lebih kami tujuh tahun bersatu.
Barangkali ta? setahuku
Ia menipuku.

1943


MERDEKA


Aku mau bebas dari segala
Merdeka
Juga dari Ida

Pernah
Aku percaya pada sumpah dan cinta
Menjadi sumsum dan darah
Seharian kukunyah-kumamah

Sedang meradang
Segala kurenggut
Ikut bayang

Tapi kini
Hidupku terlalu tenang
Selama tidak antara badai
Kalah menang

Ah ! Jiwa yang menggapai-gapai
Mengapa kalau neranjak dari sini
Kucoba dalam mati.

14 Juli 1943


-JANGAN KITA DI SINI BERHENTI-

Jangan kita di sini berhenti
Tuaknya tua, sedikit pula
Sedang kita mau berkendi-kendi
Terus, terus dulu?..!!!

Ke ruang di mana botol tuak banyak berbaris
Pelayannya kitta dilayani gadis-gadis
O, bibir merah, selokan mati pertama
O, hidup, kau masih ketawa ??

24 Juli 1943


PRAJURIT JAGA MALAM


Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu ?
Pemuda-pemuda yang lincah yang tua-tua keras,
bermata tajam
Mimpinya kemerdekaan bintang-bintangnya
kepastian
ada di sisiku selama menjaga daerah mati ini
Aku suka pada mereka yang berani hidup
Aku suka pada mereka yang masuk menemu malam
Malam yang berwangi mimpi, terlucut debu......
Waktu jalan. Aku tidak tahu apa nasib waktu !

(1948)


MALAM


Mulai kelam
belum buntu malam
kami masih berjaga
--Thermopylae?-
- jagal tidak dikenal ? -
tapi nanti
sebelum siang membentang
kami sudah tenggelam hilang


KRAWANG-BEKASI

Kami yang kini terbaring antara Krawang-Bekasi
tidak bisa teriak "Merdeka" dan angkat senjata lagi.
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami,
terbayang kami maju dan mendegap hati ?


Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu.
Kenang, kenanglah kami.

Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu nyawa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu

Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Atau jiwa kami melayang untuk kemerdekaan kemenangan dan harapan
atau tidak untuk apa-apa,
Kami tidak tahu, kami tidak lagi bisa berkata
Kaulah sekarang yang berkata


Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika ada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang, kenanglah kami
Teruskan, teruskan jiwa kami
Menjaga Bung Karno
menjaga Bung Hatta
menjaga Bung Sjahrir


Kami sekarang mayat
Berikan kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang, kenanglah kami
yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Krawang-Bekasi


(1948)


DIPONEGORO


Di masa pembangunan ini
tuan hidup kembali
Dan bara kagum menjadi api

Di depan sekali tuan menanti
Tak gentar. Lawan banyaknya seratus kali.
Pedang di kanan, keris di kiri
Berselempang semangat yang tak bisa mati.

MAJU

Ini barisan tak bergenderang-berpalu
Kepercayaan tanda menyerbu.

Sekali berarti
Sudah itu mati.

MAJU

Bagimu Negeri
Menyediakan api.

Punah di atas menghamba
Binasa di atas ditindas
Sesungguhnya jalan ajal baru tercapai
Jika hidup harus merasai

Maju
Serbu
Serang
Terjang

(Februari 1943)


PERSETUJUAN DENGAN BUNG KARNO


Ayo ! Bung Karno kasi tangan mari kita bikin janji
Aku sudah cukup lama dengan bicaramu
dipanggang diatas apimu, digarami lautmu
Dari mulai tgl. 17 Agustus 1945
Aku melangkah ke depan berada rapat di sisimu
Aku sekarang api aku sekarang laut


Bung Karno ! Kau dan aku satu zat satu urat
Di zatmu di zatku kapal-kapal kita berlayar
Di uratmu di uratku kapal-kapal kita bertolak & berlabuh


(1948)


AKU

Kalau sampai waktuku
'Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu


Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi


Maret 1943


PENERIMAAN


Kalau kau mau kuterima kau kembali
Dengan sepenuh hati
Aku masih tetap sendiri

Kutahu kau bukan yang dulu lagi
Bak kembang sari sudah terbagi
Jangan tunduk! Tentang aku dengan berani

Kalau kau mau kuterima kembali
Untukku sendiri tapi
Sedang dengan cermin aku enggan berbagi.

Maret 1943


HAMPA

kepada sri


Sepi di luar. Sepi menekan mendesak.
Lurus kaku pohonan. Tak bergerak
Sampai ke puncak. Sepi memagut,
Tak satu kuasa melepas-renggut
Segala menanti. Menanti. Menanti.

Sepi.

Tambah ini menanti jadi mencekik
Memberat-mencekung punda
Sampai binasa segala. Belum apa-apa
Udara bertuba. Setan bertempik
Ini sepi terus ada. Dan menanti.


DOA

kepada pemeluk teguh


Tuhanku
Dalam termangu
Aku masih menyebut namamu

Biar susah sungguh
mengingat Kau penuh seluruh
cayaMu panas suci
tinggal kerdip lilin di kelam sunyi

Tuhanku
aku hilang bentuk
remuk

Tuhanku
aku mengembara di negeri asing

Tuhanku
di pintuMu aku mengetuk
aku tidak bisa berpaling


13 November 1943


SAJAK PUTIH


Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda


Sepi menyanyi, malam dalam mendoa tiba
Meriak muka air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku

Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita Mati datang tidak membelah...


SENJA DI PELABUHAN KECIL

buat: Sri Ajati


Ini kali tidak ada yang mencari cinta
di antara gudang, rumah tua, pada cerita
tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut
menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut


Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang
menyinggung muram, desir hari lari berenang
menemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerak
dan kini tanah dan air tidur hilang ombak.


Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan
menyisir semenanjung, masih pengap harap
sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan
dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap


1946


CINTAKU JAUH DI PULAU

Cintaku jauh di pulau,
gadis manis, sekarang iseng sendiri
Perahu melancar, bulan memancar,
di leher kukalungkan ole-ole buat si pacar.
angin membantu, laut terang, tapi terasa
aku tidak 'kan sampai padanya


Di air yang tenang, di angin mendayu,
di perasaan penghabisan segala melaju
Ajal bertakhta, sambil berkata:
"Tujukan perahu ke pangkuanku saja,"


Amboi! Jalan sudah bertahun ku tempuh!
Perahu yang bersama 'kan merapuh!
Mengapa Ajal memanggil dulu
Sebelum sempat berpeluk dengan cintaku?!


Manisku jauh di pulau,
kalau 'ku mati, dia mati iseng sendiri.

1946


MALAM DI PEGUNUNGAN


Aku berpikir: Bulan inikah yang membikin dingin,
Jadi pucat rumah dan kaku pohonan?
Sekali ini aku terlalu sangat dapat jawab kepingin:
Eh, ada bocah cilik main kejaran dengan bayangan!

1947


YANG TERAMPAS DAN YANG PUTUS


kelam dan angin lalu mempesiang diriku,
menggigir juga ruang di mana dia yang kuingin,
malam tambah merasuk, rimba jadi semati tugu

di Karet, di Karet (daerahku y.a.d) sampai juga deru dingin
aku berbenah dalam kamar, dalam diriku jika kau datang
dan aku bisa lagi lepaskan kisah baru padamu;
tapi kini hanya tangan yang bergerak lantang

tubuhku diam dan sendiri, cerita dan peristiwa berlalu beku

1949


DERAI DERAI CEMARA


cemara menderai sampai jauh
terasa hari akan jadi malam
ada beberapa dahan di tingkap merapuh
dipukul angin yang terpendam

aku sekarang orangnya bisa tahan
sudah berapa waktu bukan kanak lagi
tapi dulu memang ada suatu bahan
yang bukan dasar perhitungan kini

hidup hanya menunda kekalahan
tambah terasing dari cinta sekolah rendah
dan tahu, ada yang tetap tidak terucapkan
sebelum pada akhirnya kita menyerah


1949

Tags: chairil, anwar, zeventina, puisi, pujangga, angatan, 45
Prev: Chairil Anwar